Multidisipliner dan Interdisipliner Ilmu

Sabtu, 23 Februari 2019

Aspek Pemasaran dalam Studi Kelayakan Bisnis

Saat ini sedang kita jumpai banyak anak muda sangat bersemangat untuk berbisnis. Mulai dari bisnis kuliner dengan outlet gerobak, menciptakan bisnis Start-Up, sampai yang paling banyak membangun bisnis online. Menurut data terakhir dari Badan Pusat Statistik tahun 2016, ada 59.693.705 unit bisnis UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Indonesia. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, UMKM ini diklasifikasikan berdasarkan capaian omzet rata-rata per tahun. Untuk skala Mikro berarti memiliki capaian omzet rata-rata per tahun sebesar Rp.0,- sampai dengan Rp.300.000.000,-. Di skala Kecil berarti memiliki capaian omzet rata-rata per tahun sebesar Rp.300.000.000,- sampai dengan Rp.2.500.000.000,-. Sedangkan untuk skala Menengah berarti memiliki capaian omzet rata-rata per tahun sebesar Rp.2.500.000.000,- sampai dengan Rp.50.000.000.000,-. Khusus untuk skala Besar adalah merupakan bisnis yang sudah memiliki capaian omzet per tahun lebih dari Rp.50.000.000.000,-.

Sangat disayangkan jumlah populasi bisnis terbesar di Indonesia masih berada dan banyak terjebak di skala Mikro. Jumlahnya sangat besar, yaitu sejumlah 58.943.768 unit atau 98,74% dari seluruh jumlah unit bisnis yang ada di Indonesia. Jika kita asumsikan usaha mikro ini mencapai omzet maksimal, maka nilai omzet Rp.300.000.000,- dibagi 12 bulan, berarti perbulan usaha mikro ini hanya mendapatkan omzet Rp.25.000.000,- saja. Pada umumnya bisnis skala mikro ini hanya memiliki net profit sebesar 10%. Berarti usaha skala mikro ini statusnya hanya bertahan hidup dengan net profit sebesar Rp.2.500.000,-. Padahal fakta dilapangan capaian omzet malah lebih kecil dari itu. Jauh dari layak untuk disebut sebagai bisnis. Tapi, itulah fakta yang harus kita terima sebagai anak bangsa. Banyak unit bisnis yang membutuhkan sentuhan dan terapi lebih mendalam lagi agar benar-benar mampu memberikan kontribusi besar pada roda perekonomian negeri.

Hal ini terjadi dikarenakan para pebisnis di Indonesia ini belum paham benar apa yang harus dilakukan untuk memaksimalkan bisnisnya agar bisa dikatakan layak. Tonggak sebuah bisnis untuk bisa hidup adalah dari penjualan (sales). Dari penjualan (sales) inilah terjadi yang namanya transaksi dan sebuah bisnis mendapatkan uang atau yang disebut dengan omzet. Banyak tidak dipahami pebisnis pula, bahwa penjualan (sales) yang banyak hanya akan terjadi apabila kegiatan pemasaran (marketing) dilaksanakan dengan baik dan tepat. Buktinya banyak pebisnis yang belum mengerti kalau sebenarnya marketing dan sales adalah dua hal yang jauh berbeda.


Menurut Kotler (2000:4), pemasaran merupakan salah satu bentuk dari proses sosial dan bagian dari memanajemen diri ataupun kelompok untuk mendapatkan kebutuhannya dengan menciptakan sebuah peluang, pertukaran, maupun penawaran terhadap sekelompok orang yang juga turut memiliki kebutuhan dan keinginan dari permintaan tersebut. Sedangkan menurut Prastyo (2018:81), marketing (Pemasaran) adalah suatu proses kegiatan-kegiatan menyeluruh, terpadu, dan terencana yang dilakukan oleh institusi untuk menjalankan usaha. Kegiatan pemasaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan cara membuat produk-produk, menetapkan harganya, mengkomunikasikan, dan juga mendistribusikannya melalui penjualan.

Secara sederhana, definisi pemasaran lebih diidentikan dengan proses pengenalan produk (product) atau layanan (service) kepada konsumen yang potensial. Aspek-aspek untuk pemasaran ini meliputi periklanan, public relation, promosi dan di tandai keberhasilannya dengan banyaknya jumlah penjualan. Dalam perusahaan, tujuan utama pemasaran adalah untuk memaksimalkan keuntungan dengan membuat strategi penjualan. Di perusahaan atau bisnis, marketing executives atau lebih akrab di panggil CMO (Chief Marketing Officer) harus mampu melihat banyak aspek dalam beriklan, termasuk juga memprediksi lifespan sebuah produk.

Marketing Mix yang banyak diketahui orang adalah merupakan strategi bauran pemasaran yang terdiri dari 4 hal utama. Hal tersebut biasa dikenal oleh generasi pemasar zaman old atau bahkan pelaku bisnis dan akademisi sekarang ini adalah 4P, Product, Price, Place, and Promotion. Perlu diketahui bahwa di era Revolusi Industri 4.0 yang semakin massive ini, 4P tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sudah usang, kuno, dan bisa dipastikan berujung kegagalan pada proses eksekusinya.

Saya berikan salah satu studi kasus yang masih menggunakan Strategi Marketing Mix 4P tersebut dan ujungnya kebangkrutan, gagal, dan ditinggalkan pembeli sekaligus pelanggan setianya. Perhatikan gambar dibawah ini :

 

Jika ditinjau dari segi 4P, Department Store atau Mall yang tutup itu bisa dikatakan sangat layak dan memenuhi segala unsur 4P dengan baik. Mulai dari Product and Price yang bagus dan sesuai value yang ditawarkan. Sampai Place yang sangat strategis di perkotaan yang ramai pengunjung. Bahkan budget promotion juga gila-gilaan nilainya. Ujungnya tetap bangkrut, tutup, dan ditinggalkan pembeli sampai pelanggannya. Sekali lagi ini membuktikan kalau strategi Marketing Mix yang selama ini dikenal dan dipakai hampir di semua perusahaan sudah usang masa kejayaannya.

Mari saya perkenalkan dengan Marketing Mix baru, yaitu Marketing Mix di era Revolusi Industri 4.0 dan penerapannya pada Ekonomi Digital. Mari kita geser dan rubah paradigma pemikiran kita sebagai akademisi dan pebisnis dari menjual 4P ke komersialisasi 4C.

Seperti yang sudah diketahui di atas, Marketing Mix adalah alat klasik dan kuno untuk membantu merencanakan “apa yang ditawarkan” dan “cara menawarkannya” kepada pelanggan adalah dengan 4P. Begitu perusahaan memutuskan “apa yang harus ditawarkan” (product dan price), mereka harus memutuskan “cara menawarkannya” (place dan promotion). Maka, perusahaan harus menentukan dimana produknya akan didistribusikan dengan tujuan membuatnya tersedia dan mudah terakses oleh pelanggan.

Menurut Kotler, dkk (2019:47), di dunia yang tehubung, konsep bauran pemasaran telah berkembang untuk mengakomodasi lebih banyak partisipasi pelanggan. Bauran pemasaran (keempat P) seharusnya didefinisikan ulang menjadi empat C (co-creation [menciptakan bersama], currency [mata uang], communal activation [aktivasi komunal], dan conversation [percakapan]).

Dalam ekonomi digital, co-creation adalah strategi pengembangan produk yang baru. Melalui co-creation dan pelibatan pelanggan dalam tahap awal terbentuknya gagasan, perusahaan dapat meningkatkan laju kesuksesan dari pengembangan produk baru. Co-creation juga memungkinkan pelanggan menyesuaikan dan mempersonalisasikan produk dan jasa, sehingga menciptakan proposisi nilai unggulan.

Dalam tatanan ekonomi digital, harga adalah suatu hal yang sangat mirip dengan mata uang (Currency) yang berfluktuasi sesuai permintaan pasar. Bisnis retail online salah satu contohnya, mereka ini mengumpulkan sejumlah big data, yang memungkinkan mereka melakukan analisis data raksasa dan pada gilirannya menawarkan penetapan harga yang unik untuk setiap pelanggan. Dengan penetapan harga yang dinamis, perusahaan bisa mengoptimalkan profitabilitas dengan mengenakan biaya berbeda pada setiap pelanggan yang didasarkan pada pola pembelian historis, jarak lokasi dengan toko, dan aspek profil pelanggan lain.

Di dunia yang sudah saling terkoneksi satu dengan lainnya, pelanggan meminta akses produk ke produk dan jasa hampir secara instan, yang hanya bisa terlaksana bila rekan mereka berada di dekat mereka. Konsep saluran sudah berubah. Prinsipnya adalah Economic Sharing. Prinsip ini adalah konsep distribusi yang paling ampuh. Hal ini sudah dilakukan oleh Go-Jek, Airy Rooms, Uber, Grab, Air BnB, dan lain sebagainya. Konsep ini mendisrupsi industri yang sudah eksis sebelumnya. Inilah esensi dari aktivitas komunal (communal activation).

Dalam hal promosi, konsepnya juga berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam konsep Marketing Mix 4P yang tradisional itu, promosi selalu merupakan urusan satu sisi saja, dimana perusahaan mengirim pesan ke pelanggan selaku target market. Dalam konsep 4C berbeda, maraknya media sosial dan dunia online sangat memungkinkan pelanggan melakukan respon terhadap pesan-pesan itu. Ini juga memungkinkan pelanggan berbicara tentang pesan-pesan itu dengan pelanggan lain. Saling terhubung di semua sisi. Hal ini memberikan platform bagi pelanggan untuk melakukan percakapan tentang produk atau jasa yang akan dibeli serta menawarkan produk atau jasa yang sudah mereka gunakan. Inilah esensi pentingnya percakapan (conversation) dalam konsep Marketing Mix 4C yang sudah kita bahas dari awal hingga akhir ini.

Menurut Coach Dr. Fahmi, Marketing adalah salah satu elemen penting yang menjadi pendorong agar bisnis bertumbuh dan menguat. Kemas Marketing Mix semenarik mungkin.

Tidak sedikit perusahaan yang beranggapan bahwa pelanggan adalah yang utama. Tapi berapa banyak dari perusahaan tersebut yang telah berevolusi untuk memahami pelanggan mereka di era digital? Pelanggan saat ini menemukan berbagai produk dan layanan terbaru melalui jejaring sosial. Dengan mudahnya, mereka dapat mencari alternatif secara online, membandingkan ulasan dari pelanggan lain, dan menyampaikan umpan balik mereka kepada perusahaan melalui Twitter / Facebook / Marketplace / dan yang lainnya.

Di era digital seperti sekarang ini, dunia telah menjadi “lapangan bermain” bagi pelanggan dengan banyaknya pilihan, dan tidak ada brand yang dianggap sangat diperlukan. Dari sana dapat dilihat bahwa ekspektasi pelanggan untuk mendapatkan pengalaman terbaik dengan brand kian meningkat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Twitter beberapa waktu lalu, pelanggan tidak hanya menganggap layanan pelanggan (customer service) 30% lebih penting daripada brand, tapi juga 52% lebih penting daripada “nilai uang” (value of money) yang mereka bayarkan atas produk / jasa yang mereka beli. Oleh sebab itu, peran customer service sangatlah menentukan tingkat kepuasan pelanggan.

Jika perusahaan kita sudah proaktif dengan pelanggan, bagaimana kita dapat mengubah hubungan baik tersebut menjadi sebuah dukungan positif untuk brand kita. Manfaat media sosial melampaui fungsi pelayanan dalam media penyiaran dan sejenisnya. Di saat bersamaan, media sosial juga dapat menyediakan informasi mengenai perilaku, kebiasaan, dan kebutuhan pelanggan secara real time. Tanpa disadari, kita dapat mengenal dan melayani pelanggan secara lebih maksimal.

Ukuran kepuasan pelanggan di era digital 4.0 pada saat ini dapat dilihat dari indikator berikut:
1. Pelanggan memutuskan untuk langsung membeli produk / jasa yang kita tawarkan pada saat itu juga (Transaction)
2. Terciptanya kepercayaan pelanggan atas produk / jasa yang kita tawarkan (Trust)
3. Pelanggan tetap setia menggunakan produk / jasa kita (Loyality) 
4. Pelanggan membeli kembali produk / jasa kita (Repeat Order)
5. Sedikit atau tidak terjadi tuntutan-tuntutan atau komplain yang tidak perlu dari pelanggan (No Complain)
6. Good Riview in all channel.
Loyalitas pelanggan adalah kondisi dimana seorang pelanggan memiliki sikap positif terhadap merek suatu produk, serta memiliki komitmen untuk selalu mendukung dan menggunakan merek tersebut serta melakukan pembelian terhadap merek tersebut dimasa mendatang. Mengenai sikap positif  terhadap merek suatu produk, hal ini perlu kita garis bawahi, sikap positif  ini akan diwujudkan dalam perilaku dan cara pandang pelanggan terhadap merek tersebut, seperti bagaimana pelanggan bangga dengan merek tersebut, bagaimana pelanggan membentuk asosiasi dengan merek tersebut dan bagaimana pelanggan dengan mudah bisa menerima kekurangan dari sebuah merek produk sebagai penyempurnaan yang tertunda.

Kemudian komitmen dari para pelanggan, akan diwujudkan dalam tindakan nyata, seperti selalu menggunakan merek produk tersebut, mendukung seluruh aktivitas dari merek produk tersebut dan siap mengadakan pembelian atas pengembangan merek produk tersebut pada masa mendatang, serta berkomitmen untuk tidak beralih ke merek yang lain.

Pada marketing 4.0, ada redefinisi tentang loyalitas. Seperti penjelasan diatas, dahulu loyalitas diartikan sama dengan act again, berapa orang yang melakukan repeat order. Sekarang, loyalitas tidak hanya repeat order tetapi juga advocate. Dahulu namanya word of mouth.  Word of mouth sudah kurang relevan lagi, karena dirasa sudah berat prakteknya. Sekarang, di era digital lebih banyak kesempatan orang untuk advocate. Orang sudah online kapan saja dan di mana saja. Perpindahan tidak lagi menggunakan word of mouth, tetapi dari gadget satu ke gadget lain, dari akun media sosial satu ke akun media sosial lain. Kegiatan share, like, and comment inilah yang merupakan inti dari advocate. Anda like itu advokasi. Anda share dan upload foto yang anda suka itu advokasi. Inilah tanda-tanda baru dari loyalitas pelanggan.

Ada cara baru untuk mengukur loyalitas pelanggan. “Ada dua metrik baru yang patut diukur : purchase action ratio (PAR) dan brand advocacy ratio (BAR)”. PAR adalah jumlah orang yang beli dibagi dengan jumlah orang yang aware. PAR digunakan untuk melihat seberapa efektif iklan kita. Seberapa efektif awareness kita. Dari indeks 100% atau sama dengan indeks 1, berapa persen orang yang membeli produk kita.

Misalnya, ada 100 orang yang aware dengan produk kita dan yang beli cuma 30 orang. Ini berarti nilai PAR-nya adalah 0,3. Dari contoh di atas, bagaimana cara mengukur advokasi, berapakah orang yang advokasi? Orang yang advokasi misalnya 50 orang. Berarti nilai BAR-nya adalah 0,5.

Kadang-kadang orang tidak beli produk tapi mereka mau advokasi. Hal ini biasanya ada di barang mewah. Saya tidak melakukan pembelian laptop MacBook Air tapi saya merekomendasikan kepada orang. “Kalau punya uang seperti kamu, saya akan beli laptop MacBook Air”, misalnya seperti itu contoh advokasinya.

Nilai advokasi bisa lebih besar daripada jumlah orang yang beli, bisa juga lebih kecil. Jika orang beli produk dan puas, tapi mereka tidak berani advokasi atau malas advokasi, inilah yang dinamakan BAR.

Jadi ada dua rasio untuk ukuran loyalitas pelanggan. PAR dan BAR. PAR itu untuk masa sekarang, BAR untuk masa yang akan datang. PAR untuk market share, BAR untuk growth. Dulu, loyalitas dihitung cuma dari repeat. Sekarang dua-duanya, repeat dan advocacy sama-sama dihitung.

Bisnis yang berada di Indonesia sudah selayaknya bergerak dari pola pikir pemasaran Tradisional yaitu Marketing 1.0, Marketing 2.0, dan Marketing 3.0 menuju ke pemasaran digital (Marketing 4.0) jika masih ingin bertahan menghadapi banyaknya disruptor yang tidak terlihat. Hanya ada dua pilihan untuk bisnis yang masih ingin bertahan jangka panjang. (1) Berubah dan Berbenah, atau (2) Musnah dan Punah. Menerapkan Marketing 4.0 adalah satu-satunya pilihan.


Sumber dan Daftar Pustaka :

Admin. 2016. Data UMKM, (Online), (www.depkop.go.id/data-umkm 2016), Diakses tanggal 18 Februari 2019.
Alfa, Faizal. 2017. 3D Marketing. Malang : Intrans Publishing.
Kotler, Philip, dkk. 2019. Marketing 4.0. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Prehallindo.
Octa, Agus. 2018. Bagaimana Loyalitas Pelanggan Anda ?, Ukur dengan 7 Cara ini, (Online), (https://distribusipemasaran.com/ukur-loyalitas-pelanggan-7-cara/), Diakses tanggal 20 Februari 2019.
Prastyo, Elga Aris. 2018. Teknik Berbisnis dengan Angka 7. Blitar : CV.Entrepreneur Media Indonesia.
Prayoga, Dewa Eka. 2018. Dongkrak Omzet Milyaran dengan Tim Penjualan. Bandung : Delta Saputra
TDA Community. 2018. 8 Workshop Series. Jakarta : TDA Community.
Wahyudi, Sandy. 2017. Service Excellent through Digital Optimalization,
(Online), (https://slcmarketinginc.com/service-excellent-through-digital-optimalization/), Diakses tanggal 20 Februari 2019.


Share:

0 comments:

Posting Komentar