Multidisipliner dan Interdisipliner Ilmu

Jumat, 07 Desember 2018

MELAWAN TATANAN ZALIM (2)

Judulnya Copy Paste dari tulisan kang Rendy Saputra.

Isinya dijamin Beda tapi nyambung. Silahkan disimak.

******




Saat bicara mengenai ekonomi tentu kita tidak bisa lepas dengan yang namanya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Lantas bagaimana kontribusi SDM kita terhadap kemajuan ekonomi negeri???

Banyak pertanyaan di benak saya mengapa begitu banyak Sarjana Teknik, akan tetapi mengapa Teknologi di negeri ini masih import???

Banyak pertanyaan di benak saya mengapa banyak Sarjana Ekonomi dan Bisnis, akan tetapi mengapa Ekonomi negeri ini tetap saja lambat pertumbuhannya???

Dahulu bisa sekolah dan kuliah itu istimewa. Sekarang semakin banyak Sarjana yang berpendidikan akan tetapi seperti sangat sedikit impactnya bagi bangsa. Mengapa ???

******

Pertanyaan-pertanyaan diatas pelan-pelan mulai terjawab. Kita ulas sejarah dulu ya. Masih sama topiknya dengan milik Kang Rendy Saputra. Saya ulas dari sudut berbeda.

VOC atau pemerintahan Hindia Belanda dahulu sangat kuat dalam memonopoli apapun. Termasuk Sumber Daya Manusia kita.

Seperti diketahui bersama, banyak tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan malah berasal dari Sekolah milik Belanda. Sukarno, Hatta, dan yang lainnya.

Setiap sekolah yang didirikan Belanda punya tujuan yang berbeda-beda. Secara umum fungsi dan sekolah itu sama, yaitu mempelajari sesuatu. Puzzle di dalam sekolah meliputi Apa yang dipelajari, Tujuan Belajar, Siapa yang belajar, dan Cara belajarnya pun bisa berbeda.

Awalnya pemerintah Belanda hanya mendirikan sekolah untuk orang Belanda saja. Sampai suatu ketika pihak Belanda kebingungan untuk mencari tenaga kerja untuk pemerintahan yang dijalankan Belanda di nusantara. Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah yang bisa diberikan upah murah. Tenaga kerja yang dibutuhkan terutama sebagai Juru Tulis.

Untuk bisa menjadi pegawai di pemerintahan Hindia Belanda, seseorang haruslah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Spesifikasi yang dibutuhkan harus mempunyai keterampilan yang lumayan dan juga teliti serta tidak banyak protes dan kritis (Agar mau dibayar murah).

Pemerintahan Hindia Belanda mendirikan sekolah untuk mendidik beberapa pribumi agar siap bekerja sebagai pegawai Belanda yang penurut dan mendukung penjajahan di bumi Nusantara. Sekarang sisa mental ini masih ada. Di kalangan masyarakat kita, belum keren kalau belum menjadi pegawai yang berseragam. Yessss. Sejarah lah yang membentuk pemahaman doktrin yang mendarah daging itu sampai sekarang.

*****

Kembali ke pertanyaan saya pada pembukaan tulisan saya ini. Mari kita jawab satu persatu.

Kita pahami dulu keadaan kita sekarang ya.

Tidak terbantahkan lagi bahwa sebenarnya banyak corporate besar di negeri ini bukan milik anak negeri. Modalnya milik asing.

Untuk mengurangi beban Gaji mahal apabila menggunakan tenaga kerja diluar Indonesia, maka corporate besar ini menuntut institusi pendidikan kita untuk memberikan output tenaga kerja mumpuni untuk menjalankan proses bisnis mereka.

Di Negeri ini sudah banyak Sarjana Teknik dan Teknokrat yang bahkan kemampuan dan keahliannya di akui Dunia. Prof. Habibie misalnya. Tapi kenapa kita ketergantungan terhadap teknologi dari luar masih kuat?. Jawabannya adalah karena para lulusan sarjana teknik ini di desain untuk bekerja di Industri. Bukan sebagai creator teknologi. Kurikulum Fakultas Teknik di desain menyiapkan tenaga kerja untuk membantu proses Bisnis di sisi teknologi nya. Dari mana saya tahu? Saya lulusan Fakultas Teknik di salah satu kampus Negeri. Sangat terasa saat Industri corporate besar itu membuka job fair maka akan diserbu para lulusan Fakultas Teknik ini. Putra putri terbaik bangsa yang capek2 belajar Engineer ini dipenjara dalam bingkai yang namanya penyerapan tenaga kerja. Posisinya pun kebanyakan hanya mentok di bottom manajemen. Memang ada yang di TOP Manajemen. Gak banyak. Ekosistem memang memaksa dan di desain seperti ini.

Inilah jawabannya kita hanya sebagai pengekspor bahan baku. Seharusnya para Engineer ini lah yang memikirkan bagaimana mengolah bahan baku menjadi barang yang memiliki Value tinggi. Memang di desain begitu para Engineer kita ini. Kalaupun di Industri pengolahan ya para Engineer ini sebagai pekerja. Industri juga milik Mereka-mereka juga. Hmhhhh. Perihhh memang.

Saya kuliah di Fakultas Teknik 2 kali, yang satunya sekarang masih semester 7 di salah satu Universitas Swasta. Doktrinnya lebih unik. Kami dijanjikan kalau lulus gampang di terima kerja. Karena Akreditasi sudah B. Yaelaaahhh ini Fakultas Teknik kok gak ngajak kita mencipta sih. Ya bukan salah kampus. Memang begini Desain TATANAN DUNIA untuk orang Indonesia.

Ini yang bikin miris, banyak sarjana lulusan Fakultas Bisnis atau Ekonomi tidak memiliki kemampuan berbisnis. Bahkan lulus gak ngerti gimana cara berbisnis. Saya urai kan bagaimana kondisi di dalam proses belajar mengajar di kelas. Kebetulan saya ini orang "gila" yang juga merupakan mahasiswa Jurusan Manajemen Bisnis Syariah.

Seperti di tulisan Kang Rendy kalau Entrepreneurship ini adalah cara perang kita paling efektif untuk melawan VOC gaya baru.

Ini menurut pengalaman saya lho yaaa, tapi sepertinya kurang lebih sama. Karena dosen saya juga dari berbagai Universitas di Indonesia. Saya berkesimpulan kalau Materi yg disampaikan sama, ya berarti di asal Universitas dosen saya juga sama saja. Tp, bukan bermaksud men-Generalisir semua Fakultas Ekonomi dan Bisnis lho yaaa.

Saat saya ambil jurusan Manajemen Bisnis Syariah, yang ada dipikiran saya punya ekspektasi yang tinggi. Saya bukan type orang yang asal ambil jurusan. Saya sudah mempelajari kurikulum jurusan ini serta Nama-nama mata kuliahnya. Wooowww banget. Saya optimis kalau jurusan ini mencetak calon pebisnis Handal.

Kenyataannya beda, isi konten perkuliahan sangat jauh dari realitas kondisi Ekonomi dan Bisnis yang ada di luar kampus. Malah isinya semacam kita di doktrin untuk mengurus bisnis corporate besar yang sudah ada. Jelas arah kurikulum ini mengarahkan kita hanya sebagai akademisi (dosen masa depan) dan sebagai pengelola perusahaan besar yang sudah punya sistem canggih. Pola nya sama kan???. Sama sekali kita tidak diajari cara berbisnis sendiri. Padahal jurusan bisnis harusnya ya praktek bikin bisnis. Creator bisnis. Membesarkan bisnis.

Saya langsung menyadari ini, saya melayangkan kritik sistematis dan konstruktif kepada pihak fakultas. Birokrat hanya mengangguk tapi tak kunjung ada perbaikan. Dikelas saya paling lantang bicara. Sampai beberapa dosen enggan mengajar di kelas saya. Saya simpulkan memang desain awal jurusan bisnis seperti ini. Mengurus bisnis corporate besar. Punya mereka-mereka juga.

Ya wajar jumlah Entrepreneur di Indonesia ini sedikit. Memang begitu keadaannya. Beberapa dosen bicara pada saya untuk menerima saja apa yg diberikan kampus. Kalau mau cari ilmu lebih diluar saja. Saya menolak. Saya akan melawan dengan cara yang baik. Setidaknya sama seperti sultan Agung yang melawan meskipun akhirnya kalah. Tapi, setidaknya teman - teman lain jadi sadar. Kesadaran ini yang mahal.

Begitu banyak orang pintar di negeri ini tapi impactnya blm begitu kelihatan. Banyak yang menyalahkan orang pinter nya. Banyak yang menyalahkan pemerintah. Saya gak sepakat dengan ini. Sekali lagi ini memang desain. Negara ini blm ramah untuk orang pintar berkarya. Sampai ada yg bilang mending biasa saja daripada pintar tapi "minteri". Ya gak gitu juga.

Saya kasih contoh yang mudah dipahami. Di negara ini hampir semua jenjang pendidikan untuk mengukur kemampuan seseorang menggunakan ujian tulis berupa "Multiple Choice". Kita dipaksa memilih satu jawaban yang benar diantara jawaban yang sudah "Dipilihkan" oleh yang membuat soal. Secara tidak sadar cara ini juga yang akan kita pakai untuk menyelesaikan masalah. Generasi "Multiple Choice" ini susah untuk berfikir dalam hal Problem Solving. Coba saja tanya ke banyak pelajar. Mereka lebih suka dengan ujian model Multiple Choice ketimbang essay. Dari kecil sih kita dibiasakan gini. Mulai sadar yaa. Halus banget broo. Generasi Multiple Choice ini lebih banyak penurut kalau kerja di perusahaan besar. Karena jawaban setiap permasalahan sudah "dipilihkan". Tinggal milih.

Beda dengan UMKM kita harus Fight dalam menyelesaikan masalah. Ini kita tidak terbiasa sebagai generasi Multiple Choice. Di UMKM kita harus biasa menyelesaikan masalah dengan essay. Memungkinkan kita untuk mengambil keputusan sendiri dengan banyak jawaban yang sebelumnya tidak terpikirkan dan belum pernah ada.

Kok mas elga tau sih? Saya lulusan Keguruan juga dari salah Satu Universitas Negeri. Saya ini gila. Lintas bidang keilmuan. Memang sebagai guru juga susah mengukur dengan angka bila siswa menggunakan jawaban essay. Lebih mudah jawaban Multiple Choice. Berapa yang benar, berapa yang salah. Tinggal dinilai beres.

Seharusnya di Jurusan bisnis itu metode pembelajarannya menggunakan PROJECT BASE LEARNING (Pembelajaran Berbasis Proyek). Ini penelitian saya. Chek di google. Ada abstrak dan hasil penelitian nya. Mahasiswa harusnya diminta membuat proyek bisnis. Harus sering2 menghadapi masalah bisnis. Dijamin deh lulus punya bisnis masing2. Gak akan kaget dan kaku dalam bisnis.

Sekarang Jurusan bisnis masih pakai model pembelajaran ceramah di kombinasikan dengan bikin makalah dan diskusi. Yealllahhhh pantes gak bisa bisnis.

*****

Kita ini memang di desain tidak untuk Berdaya di Negeri Sendiri. Seperti kata pak Kwik Kian Gie sang mantan Menko Ekuin, dalam Indonesia Business Forum. Bahwa memang Indonesia di desain untuk dibangkrutkan. Yang di incar bahan baku sumber daya alam.

Saya usul pada Pengurus Pusat SSN harus lebih banyak kader SSN yang ada di kampus. Menyadarkan dari bawah. Atau perlu ada SAUDAGAR MUDA NUSANTARA. Sebagai Underbow SSN.
Pendidikan adalah KOENTJI.

AYOOOOOO LAWAAANNN BERSAMA.

Kita tumbangkan KAPAL VOC gaya baru ini dari bawah.

Elga Aris Prastyo,
Belajar jadi Teknokrat, Founder Workshop Electronics 3 in 1 dan Indoniaga Technology.
Belajar jadi Entrepreneur, Founder Entrepreneur Media Indonesia.
Share:

0 comments:

Posting Komentar