Kita mulai dari sudut pandang bisnis, jika organisasi bisnis kita
sedang sulit, uang kas perusahaan mengering, modal yang sangat terbatas, aset
mesin dan peralatan yang kita miliki masih sedikit, maka pada situasi seperti
ini, kita memerlukan kreativitas tingkat tinggi. Dan kreativitas bisnis yang
paling utama itu adalah MEMANFAATKAN apa yang kita miliki hari ini. Usability-nya
atau penggunaan harus kita maksimalkan.
Misalnya kita punya mesin yang beroperasi 10 jam sehari, mari kita
berfikir bagaimana bisa beroperasi 20 jam sehari agar lebih produktif.
Misalnya kita punya ruko 3 lantai, lantai 1 outlet, lantai 2
kantor, lantai 3 kosong, maka mari kita berfikir untuk memaksimalkan semua
lantai agar menghasilkan REVENUE atau pemasukan. Kalo perlu kantor pindah
ke rumah kontrakan, ruko pinggir jalan tersebut, 3 lantainya kita buat bisnis.
Lantai 1 Outlet Makanan
Lantai 2 Bimbel
Lantai 3 Fitness Muslimah
Misalnya begitu.
Ini pulalah yang harus kita fikirkan dalam membangun kekuatan
ekonomi di tubuh ummat islam, jangan sampai kita malah membelanjakan kekuatan
dana pada tempat yang tidak semestinya.
Saya ambil contoh, ketika kita bicara tentang pendidikan tingkat
tinggi, kita berbicara tentang kampus. Dan ketika kita berbicara tentang biaya
kuliah, porsi uang masuk dan uang gedung menjadi bagian paling besar.
Sementara, ummat islam ini memiliki 800.000++ gedung (data dari
Dewan Masjid Indonesia) yang hanya dipakai 5 jam per hari. Gedung itu bernama :
MASJID.
Disinilah awal mula ide pemberdayaan Masjid sebagai asset ummat
islam. Dari pondasi pemikiran ini, kita harus kembali memaknai... sudah sejauh
mana kita MEMANFAATKAN 800.000++ asset berharga ummat islam ini???.
***
Narasi tentang pemberdayaan masjid ini akan Saya sampaikan secara
runut.
Pertama, optimalisasi MASJID sebagai SARANA IBADAH.
Kedua, optimalisasi MASJID sebagai TITIK MANAJEMEN UMMAT ISLAM.
Ketiga, optimalisasi MASJID sebagai ASSET FISIK UMMAT ISLAM.
***
Kita masuk pada PEMIKIRAN PERTAMA, sudut pandang MASJID
sebagai SARANA IBADAH.
Ketahuilah, Masjid biasanya dibangun secara bersama-sama oleh
warga, walaupun ada masjid yang memang dibangun oleh pribadi. Perbedaan yang
nampak nyata adalah... masjid yang dibangun oleh kekuatan publik biasanya lemah
pada pengelolaan, dan masjid yang dibangun personal biasanya terkelola
baik. Sederhananya, karena ada sponsor
personal yang terus menyuplai kebutuhan perawatan masjid.
Pada ruang pemikiran pertama ini, Saya lebih memodelkan masjid yang
memang dibangun bersama.
Masjid yang dibangun bersama berarti dimiliki bersama, dimiliki
oleh warga. Artinya ia adalah milik ummat islam secara umum. Didalam bisnis,
ummat islam menjadi "OWNER" dari masjid.
Tapi disisi lain, masjid juga dituntut melayani ibadah jamaah, maka
ummat juga berada pada posisi "MARKET" dalam waktu yang
bersamaan.
Yang biasanya belum ada yang namanya "Dewan Eksekutif"
yang memang menjalankan masjid secara profesional. Dewan direksi beserta
jajarannya pun belum ada.
Sebagian masjid membentuk Dewan Kepengurusan Masjid (DKM), dan DKM
secara sukarela menyisihkan waktu untuk mengurus masjid. Pada pengurus DKM yang
usianya masih kategori produktif, dalam hal ini kegiatan mengurus masjid tidak
bisa menjadi aktivitas utama, karena harus bekerja dan berbisnis mencari
nafkah. Akhirnya mengurus masjid menggunakan waktu sisa.
Jika para pensiunan atau bapak/ibu yang sudah lanjut usia yang mewarnai DKM, aura eksekusinya juga tidak
bisa diharapkan cepat, karena natural organisasi itu dijalankan oleh usia
produktif. (Dengan tetap menghargai para pensiunan yang menjadi DKM)
Maka, perlu digagas dewan eksekutif yang profesional dalam
kepengurusan masjid. Dewan eksekutif yang masih Muda, berkapasitas, punya
kapabilitas, dan memang full dedikasinya untuk mengurusi masjid.
Akhirnya, ada Owner beserta jajaran komisaris dan ada CEO beserta
jajaran eksekutornya.
Ide gila nya disini : 1 masjid, harus dikelola oleh 1 CEO
profesional dengan kepuasan jamaah sebagai Key Performance Indicator
nya.
1 CEO (Chief Executive Officer)
1 Direktur Operasional Ibadah
1 Direktur Keuangan
1 Direktur Komunikasi dan Media
1 Direktur ZISWAF (Zakat, Infaq, Shodaqoh, dan Wakaf)
1 Direktur Pembinaan Jamaah
1 Direktur General Affair
Jadi, 1 orang CEO... 6 orang Direktur ... 7 orang BOD (Board Of
Director) total semuanya. 1 direktorat bisa merekrut lagi 5 staff. Akhirnya
1 masjid bisa menyerap 37 tenaga kerja.
Bayangkan angka 800.000 masjid x 37 tenaga pengelola. Anggaplah
dengan masjid kecil, menjadi 20 pengelola per masjid, berarti untuk ranah
pelayanan masjid saja, terbuka 16 juta lebih lapangan kerja baru.
Turunan dari cara kerja seperti ini akan sehat. Bapak-bapak DKM
tetap elegan menjadi pengurus DKM. Bapak-bapak akan menjadi Owner dan mengawasi
kerja jajaran eksekutif. Ini mirip Owner bisnis ngontrol pekerja.
Kan memang iya, uang ummat menggaji CEO+teamnya dan mereka
kembali melayani ummat, diawasi oleh perwakilan ummat... share holders...,
namanya DKM.
Selanjutnya, SDM atau lulusan UIN, IAIN, Pondok Pesantren dan
Universitas Timur Tengah yang sudah belajar diinul Islam, Quran, Hadist,
Dakwah, dan sejenisnya akan terberdayakan dengan baik. Jika 1 masjid butuh 1
Imam hafidz dan terdidik, maka kita bisa menyerap 800.000 hafidz, 800.000 Imam
Masjid, 800.000 Muadzin.
Saya tau betul bahwa IAIN Tulungagung kesulitan mendistribusikan lulusannya
di dunia kerja. Industri yang mau menerima lulusan IAIN sangat sedikit. Apalagi
dari jurusan di FUAD. Saya rincikan dan akan menjadi solusi untuk IAIN
Tulungagung.
SDM yang Jurusan Manajemen Bisnis Syariah dari FEBI bisa
menjadi CEO,
SDM yang Jurusan Manajemen Dakwah dari FUAD bisa menjadi Direktur
Operasional Ibadah,
SDM yang Jurusan Akuntansi Syariah atau Manajemen Keuangan
Syariah dari FEBI bisa menjadi Direktur Keuangan,
SDM yang Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dari FUAD,
bisa menjadi Direktur Komunikasi dan Media,
SDM yang Jurusan Manajemen Zakat dan Wakaf dari FEBI bisa
menjadi Direktur ZISWAF,
SDM yang Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam dari FUAD bisa
menjadi Direktur Pembinaan Jamaah,
SDM yang Jurusan Sosiologi Agama dari FUAD bisa menjadi Direktur
General Affair.
Itu baru bicara dari sebagian kecil dari Jurusan di FUAD dan FEBI,
belum bicara yang lain. Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Aqidah dan Filsafat
Islam, Tasawuf dan Psikoterapi, Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah Peradaban
Islam, Psikologi Islam, Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam, Ilmu Hadits,
Perbankan Syariah, dan Ekonomi Syariah bisa masuk ke jajaran Staff dibawah 7
BOD atau direktorat diatas.
Semua terberdayakan. Khsusus untuk Direktorat Pembinaan Jamaah akan
saya sampaikan detail di poin ketiga.
**
Kita masuk pada PEMIKIRAN KEDUA, sudut pandang MASJID
sebagai TITIK MENAJEMEN UMMAT ISLAM.
Jika kita bicara manajemen, kita bicara tentang SIAPA yang
kita kelola dan BAGAIMANA, mau di- APA -kan.
Jika kita hadir ke sebuah masjid, dan hadir ke jajaran DKM, mari
tanyakan hal ini :
1. Berapa KK yang dilayani oleh masjid ini.
2. Ada berapa laki-laki dewasa yang telah sadar menjadi jamaah ini,
nama, usia, profesi, keahlian, dan rumahnya dimana.
3. Berapa anak-anak muslim yang harus menjadi perhatian masjid ini.
4. Berapa muslimah...
Terus.. terus dan terus.. data.. data.. dan data.. dan saya yakin..
datanya tidak ada. Kecuali memang masjidnya profesional.
Saya ingin membuka mata anak bangsa : Jumlah kelurahan dan desa di
Negeri ini, menurut data BPS 2016, itu ada 82.030. Ada selisih dengan data
lain, tapi bisa dibilang 80.000 an.
Jika jumlah masjid ada 800.000 dan jumlah desa kelurahan ada 80rb,
berarti 1 desa/kelurahan terdapat 10 masjid. Sebuah proporsi yang pas untuk
manajemen ummat.
Mari kita bayangkan,....
Islam menuntun shalat berjamaah 5 waktu di masjid. Berarti ada
sekumpulan laki-laki baligh dewasa yang "meet up" 5x sehari. Anehnya,
meet up 5x sehari... tetapi hampir tidak ada sinergi yang terjadi. Yang
nganggur tetap nganggur, yang sulit kuliah tetap sulit kuliah. Aneh bukan?
Konsep masjid sebagai wahana manajemen ummat, dalam benak Saya
adalah benar-benar mengurus dan mensinergikan seluruh kekuatan yang ada dalam
tubuh ummat.
Masjid memutuskan sejauh mana rentang wilayah layanannya. Petakan.
Tarik area pake spidol. Arsir. Ini wilayah layanan masjid A. Ini wilayah
layanan masjid B. Clear.
Lalu masjid mendata seluruh kaum muslimin pada area tersebut,
pokoknya yang muslim didata. Mau ke mesjid atau tidak, harus menjadi target
layanan masjid. Kan dimandikan dan disholatkannya disitu toh?. Umumnyaaaaa….
Dari data ini akan terbaca, tingkat pendidikan, keahlian, engagement
dengan masjid, bahkan sampai kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi.
Lucu donk, ada anak muda bolak balik 5 waktu ke masjid, 5 bulan
nganggur, sementara di mesjidnya ada pengusaha yang punya bisnis 100 outlet.
Ini gak lucu blasss.
Lucu donk, ada jamaah yang bingung nyari guru private
Matematika atau Bahasa inggris untuk anaknya, sementara sarjana matematika dari
juruan Tadris Matematika bolak balik berjamaah disebelah si bapak.
Pendataan ini adalah fungsi manajamen dan dengan begini... CEO
masjid tidak hanya berfikir proses ibadah berjalan baik, tetapi juga beliau
memiliki LIST UMMAT yang harus dilayani. Makanya wajar SDM dedicated,
karena kerjanya full time.
- bapak itu sudah dapat kerjaan belum?
- ibu itu single parent butuh dicarikan suami nggak?
- anak keluarga itu pinter tapi kok gak kuliah kenapa?
- adek itu kok masih nganggur aja.
- mas itu bisnis kayaknya kurang modal.
Hayuk.. masjid bantu.. kira-kira jamaah kita ada yang punya solusi
gak ya?
Bahasan-bahasan seperti ini harusnya menjadi wahana kerja setiap
BOD masjid di 800.000 masjid yang ada. Bayangkan... saya membayangkan saja
merinding.
Konsep pelayanan seperti ini akan menarik kekuatan donasi ummat
lebih besar. Karena ada programnya be-RESONANSI. Ummat Islam Indonesia ini
mudah, selama ada program, urunan jalan. Gampang. Asal konkret, komunikasi
baik. Semua akan mengalir.
Dengan begini, potensi kekuatan ummat akan hadir. Setiap warga
muslim yang terdaftar di masjid tertentu akan terperhatikan. Ikatan-ikatan
sosial kita sebagai ummat akan kokoh. Karena masjid hadir bukan hanya sebagai
fungsi fisiknya, tetapi fungsi intrinsiknya : MELAYANI KEBUTUHAN UMMAT ISLAM.
***
Kita masuk pada PEMIKIRAN KETIGA, sudut pandang MASJID
sebagai ASSET FISIK UMMAT ISLAM.
Mari rasakan, jika Anda berbisnis, Anda pasti memahami usability.
Tingkat kegunaan asset yang Anda punya.
Masjid yang dibangun oleh sebagian besar ummat ini, relatif HANYA
digunakan 5 waktu dalam sehari. Itu saja. Jika dari adzan hingga selesai dzikir
dan doa itu anggaplah 1 jam, maka masjid hanya digunakan 5 jam dari 24 jam yang
ada.
Anda punya pabrik, dipakai 5 jam saja.
Anda punya warung, buka 5 jam saja.
Anda punya mesin fotokopi, bekerja 5 jama saja.
Bagaimana perasaan Anda?
Ratusan bahkan miliaran rupiah UANG UMMAT sudah di
investasikan untuk bangun masjid, tetapi dipakai hanya 5 jam bahkan kurang per
hari. Bagaimana perasaan Anda? Bagaimana guncangan fikiran Anda saat ini?
Dari pemikiran ini, sahabat muslim dengan fikiran pemberdaya, tidak
boleh mengijinkan hal ini terjadi. Mubazir.
Mari tantang fikiran kita.
Setelah subuh, masjid lengang mulai pukul 07.00. Coba kita bikin
program :
07.00 s/d 09.00 : ruang utama masjid jadi wahana kelas hafalan
quran untuk remaja yang belum kerja, masih nunggu kuliah, atau memang bisnis, entrepreneur
waktunya bebas.
09.00 sd 11.30 : masjid menjadi kampus. Buka kelas non formal.
Bikin silabus. Pengajar cari relawan. Masjid dipakai gratis. Berarti
mahasiwanya bisa gratis. Ini solusi pendidikan.
Pada jam ini, ibu-ibu relatif sudah antar anak ke sekolah. Bisa
dilakukan taklim ibu-ibu. Jika tidak, selasar masjid menjadi wahana pengajaran
bikin roti, menyulam, kerajinan, bahkan kejar paket A, B, C. Apa aja... yang
penting manfaat untuk ummat.
13.00 sd 15.00 : mata kuliah kedua. Untuk masjid kampus. Selasar
bisa adakan kegiatan lain.
16.00 sd 17.00 : TPQ dihidupkan, jika sudah banyak anak-anak yang
sekolah di SDIT, bisa jadi sekolah Quran untuk jamaah dewasa.
20.00 keatas : dirosah islami, ajarkan ummat shiroh, hadist, fiqh,
selesai jam 21.00. Majelis cair terbuka setiap malam.
Pertanyaannya, yang ngajar siapa, SDM nya mana...
kan ada nomor 2 diatas. Masjid banyak uang. Manajemen kokoh. Ada
SDM dedicated. SDM pengajar bisa dibayar secara professional dari Lulusan
Pondok Pesantren, Fakultas Dakwah UIN, IAIN, dan Universitas Timur Tengah. Dan
akan sangat layak.
Intinya mari kita maksimalkan. Bahkan lebih dahsyat lagi, malam
harinya bisa gunakan area tertentu untuk tempat inap musafir atau sahabat
tunawisma. Kenapa nggak? Semacam shelter inap semalam.
Ambil satu space, lapisi karpet khusus, beri hijab pembatas,
jadikan masjid ramah musafir, ramah orang lemah. Disitulah da'wah akan terasa
sangat mendalam dihati ummat.
Anak-anak muda bisa wifi-an di masjid. Block aja konten yang
negatif.
Beri space berkumpul dan bercengkarama di masjid. Masjid ramah
pertemuan.
Ada area masjid untuk playground anak-anak balita. Biar
akrab sama masjid, dan saat shalat fardhu dijaga baby sitter khusus.
Digaji oleh masjid.
Masjid menjadi tempat bimbel, pelatihan bisnis, diskusi, meet up,
yang gak boleh kan jualan di dalam masjid. Pekarangan boleh kayaknya. Banyak
koperasi di komplek mesjid kok.
Intinya gunakan. Jangan begitu mau digunakan, ada info :
"adik-adik remaja masjid pake acaranya di selasar ya, soalnya karpet
masjidnya baru beli"
Ya Salaammm... ini terjadi... aseli... karpet dibelain.. generasi
muda Islam gak dikasih tempat... YA Rabb...
**
Tulisan Saya apa adanya. Saya sudah memaksimalkan diri sesopan dan
sesantun mungkin.
Karakteristik ummat Islam Indonesia ini "wait and see".
Mereka tidak begitu cepat dan inisiatif membangun sesuatu. Pemalu, gak enakan,
takut konflik, malas ngasih saran. Keranan masjid bocor aja gak ada yang berani
ngasih masukan.
Tetapi ketika ruang-ruang kolaborasi dan sinergi dibuka, maka
kekuatan akan datang. Ketika pelayanan jelas terasa, donasi akan hadir
berlimpah.
Sama seperti bisnis. Maaf banget. Logika ini harus saya sampaikan.
Jika perusahaan Anda jasa layanannya baik, maka market akan
berulang beli layanan Anda. Jika tidak. Market tidak repeat.
Saya merasakan sendiri, jika sebuah masjid progressnya baik,
terawat, ekosistem pengelolaannya terasa, maka kita pasti mau dukung maksimal.
Saya secara pribadi berharap, tulisan ini bisa mendorong banyak DKM
untuk berbenah diri. Kemudian melangkah berani membangun sistem layanan
profesional pada masjid. Dan kemudian menyadarkan ummat Islam, untuk kemudian
MENGINDUK ke masjid-masjid terdekat. Shalatlah fardhu di masjid, dan bangunlah
ikatan sosial sesam ummat Islam.
Perlu ada keberanian membayar 1 CEO masjid senilai 15 juta rupiah
per bulan, ketika memang beliau mampu membangun layanan untuk 1.000 KK muslim,
dengan raihan donasi 1M per bulan, baik dari jamaah, donatur corporate atau
bisnis tertentu ataupun amal usaha masjid. Kenapa tidak?
Jika masjid melakukan 3 fungsi diatas, maka secara cepat kita akan
meningkatkan kualitas pendidikan ummat, kualitas ekonomi ummat dan kualitas
sosial ummat.
Ummat Islam yang 200 juta lebih ini akan ter urus baik melalui
kehadiran masjid-masjidnya yang menjadi simpul layanan sosial.
Pada keadaan yang cukup gelap dan kemakmuran masjid masih menjadi
persoalan, maka Saya menyebut masjid sebagai 800.000 titik cahaya.
Teranglah wahai bangsa ku.... nyalakan cahayamu...
****
Terinspirasi dari MASJID JOGOKARYAN, JOGJAKARTA . MASJID MUNZALAN
MUBARAKKAN, PONTIANAK. MASJID NAMIRA, LAMONGAN.
Jamaah Shalat Subuhnya selalu penuh.
Mantap, penjelasan serta ide kreatifnya Insyaallah bisa diterapkan, kalau menurut saya perlu juga ditambahi dengan trik untuk menguasai/mengenal hati dan fikiran masyarakat sehingga mau mendengarkan ide kita, walaupun kelihatan nya mudah, tapi menjadi orang berpengaruh apalagi bagi para mahasiswa yang harus menghadapi pemikiran masyarakat yang cenderung multikultural sangatlah penuh tantangan dan itu tidaklah mudah, saat dikampus mereka cenderung memiliki pemikiran yang sepadan/tidak berbeda jauh, semoga saran ini sedikit membantu. Terimakasih
BalasHapus